Oleh: Edi Susanto (Edi Cindai) Penggiat Anti Korupsi, Pemerhati Lingkungan, Ketua Umum CINDAI Kepri
Pulau Subi Besar, pulau kecil seluas 110 km² (setara 11.000 hektar) terletak di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, kini menjadi sorotan Nasional. Betapa tidak, dari total luas wilayah pulau ini, lebih dari 8.000 hektar atau sekitar 80 persen telah dikuasai oleh izin tambang yang diberikan kepada 11 perusahaan.
PT. Bukit Alam Indo 94 hektar, PT. Bina Karya Alam 99,95 hektar, PT. Mineral Alam Solusindo 223,91 hektar, PT. Natuna Alam Sejahtera 98,90 hektar, PT. Subi Alam Sejahtera 98,50 hektar, PT. Bukit Alam Indo 99,75 hektar, PT. Subi Alam Sentosa 407,00 hektar, PT. Laksamana Bumi Bertuah 2.023 hektar, PT. Emka Poetra Indonesia 4.049,38 hektar, PT. Natuna Green Energy 784,30 hektar dan PT. Subi Alam Sejahtera 53,37 hektar.
Fenomena ini memunculkan hal-hal yang mendalam, terutama mencakup keingintahuan lingkungan hidup, kepatuhan terhadap regulasi, serta nasib masyarakat lokal yang selama ini menggantungkan kehidupan dari laut dan hutan.
Tambang Masuk, Alam Terancam
Pulau-pulau kecil seperti Subi Besar memiliki daya dukung dan daya tampung yang terbatas. Ketika izin penambangan diterbitkan secara masif di atas wilayah kecil seperti ini, potensi kerusakan ekologis menjadi sangat besar.
Hutan yang selama ini menjaga keseimbangan tata udara dan mencegah abrasi terancam digunduli. Padahal, Subi Besar dikenal memiliki ekosistem pesisir yang penting, mulai dari hutan bakau, padang lamun, hingga terumbu karang yang menopang pencaharian nelayan lokal.
Aktivitas penambangan, apalagi jika dilakukan tanpa kontrol ketat, berpotensi mencemari sumber air bersih, merusak kawasan kekayaan ikan, serta mempercepat laju abrasi dan sedimentasi di perairan sekitar. Hal ini berarti bukan hanya lingkungan yang dirugikan, namun juga kehidupan masyarakat yang akan terkena dampaknya secara langsung.
Regulasi yang Dipertanyakan
Pemberian izin penambangan di wilayah pulau kecil seharusnya memperhatikan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam regulasi tersebut ditegaskan bahwa pulau-pulau kecil (kurang dari 2.000 km²) harus diprioritaskan untuk kegiatan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, seperti perikanan, ekowisata, serta pelestarian budaya dan ekosistem lokal.
Jika 80% wilayah pulau Subi Besar sudah dialokasikan untuk pertambangan, maka patut ditanyakan apakah kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dan daya dukung ekologi wilayah benar-benar dijadikan referensi. Di mana peran pengawasan dari pemerintah daerah dan pusat terhadap maraknya izin yang terbit dalam wilayah yang secara geografis sangat rentan?
Kemudian didalam Undang-undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, sangat tidak masuk diakal penguasaan izin penambangan Silika di Pulau Subi Besar. Sebab dalam Pasal 18 disebutkan bahwa:
“Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan/atau pulau dengan sebaran yang proporsional.”
Artinya, konversi Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) tidak boleh membuat tutupan kawasan hutan di suatu wilayah (DAS atau pulau) menjadi kurang dari 30% dari luas wilayah Pulau Subi Besar.
Potensi Berkelanjutan yang Terabaikan
Ironisnya, Subi Besar memiliki potensi luar biasa dalam bidang perikanan tangkap, budidaya laut, dan ekowisata. Laut Natuna dikenal sebagai salah satu perairan paling produktif di Indonesia. Belum lagi kekayaan budaya masyarakat pesisir yang dapat menjadi daya tarik tersendiri dalam konsep desa wisata bahari.
Jika dikelola secara bijak, potensi ini mampu memberikan pendapatan berkelanjutan bagi masyarakat tanpa merusak alam. Sebaliknya, pertambangan adalah sektor yang rakus lahan, berumur pendek, dan memiliki jejak ekologis jangka panjang. Ketika tambang tutup, yang tersisa hanyalah kerusakan dan keterpinggiran.
Jalan Tengah: Evaluasi dan Moratorium
Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah menyalakan secara menyeluruh semua izin penambangan di pulau-pulau kecil, termasuk di Pulau Subi Besar. Jika ditemukan indikasi pelanggaran regulasi atau ancaman serius terhadap kelestarian lingkungan, maka moratorium penerbitan izin baru wajib segera diberlakukan.
Keterlibatan masyarakat adat, tokoh lokal, sejarawan, pelajar dan organisasi masyarakat sipil sangat penting dalam proses evaluasi ini. Pulau-pulau kecil bukan hanya aset geografis, melainkan rumah bagi ribuan manusia dan berbagai spesies unik yang rentan terhadap perubahan.
Apa arti pembangunan jika masa depan lingkungan dan anak cucu kita dikorbankan? Pulau Subi Besar seharusnya menjadi contoh bagaimana pembangunan bisa berjalan seiring dengan perlindungan alam dan kesejahteraan masyarakat. Jangan biarkan pulau kecil ini menjadi korban dari keserakahan dan kelalaian. Karena ketika pulau kecil rusak, tidak hanya sebuah titik di peta yang hilang, tapi juga harapan akan masa depan yang lestari. (*)